Pages

Senin, 09 Mei 2011

KEADILAN

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar.  Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran". Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di dunia yang adil". Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di dunia yang adil".


Kata yang ikut populer bersamaan dengan orde repotnasi ini adalah:
'adil' atau 'keadilan'. kata ini menjadi kata kunci dalam perkara
'redistribusi asset ekonomi', perkara pdi, bp7 [bidang pembakaran,
penjarahan, perampokan, perkosaan, pembunuhan, penculikan dan
penyiksaan] repotnasi, dan perkara-perkara kontemporer repotnasi. 

dalam perkara-perkara di atas, keadilan dilihat sebagai sebuah bangun
pemahaman yang tidak problematik. 'adil' dan 'keadilan' adalah 'adil'
dan 'keadilan'. titik. tidak perlu penjelasan dan 'berdimensi'
tunggal, mutlak, dan tetap. tapi kalau kita mau meluangkan waktu,
berefleksi sebentar akan terlihat betapa betapa banyak pemahaman
terhadap 'adil' dan 'keadilan' yang ditawarkan kepada kita. 

beginilah 'adil' dan 'keadilan' yang saya pahami:

telur goreng sebiji yang telah dicampur bayam yang dipetik dari 
halaman itu pun kini dibagi empat. kurang lebih masing-masing bagian
sama. masing-masing dari kami mendapat sepotong. telur memang bukan
menu sehari-hari kami. telur lebih merupakan suatu bentuk kemewahan.
karena itu seperti setiap kali mendapatkan gizi 'ekstra', bapak dan
ibu memilih makan dengan tempe.

setelah agak dewasa, peristiwa 'bagi telur' itu saya refleksikan
menjadi pelajaran pertama tentang keadilan. keadilan lalu saya
definisikan 'sama rasa sama rata'. setiap orang mendapatkan bagian
yang sama, seperti dana yang diterima dari pemerintah oleh setiap
peserta kampanye pemilu jaman orde barusan. jelas keadilan model ini
mengabaikan kebutuhan 'individu'. badan yang gede kalau nggak dapet
makanan yang banyak, lemes dia. juga, keadilan semacam ini mengabaikan
produk masing-masing individu. bapak dan ibu saya yang telah berusaha
menghadirkan telur di atas meja makan, musti rela untuk tidak
mendapatkan bagian. [jelas, bapak dan ibu yang tidak mendapat bagian
telur tidak akan menuntut 'keadilan'. otherwise mereka bukan bapak dan
ibuku].  menjadi 'tidak adil', bagi saya, kalau bapak dan ibu saya 
juga minta bagian yang sama. dalam hal ini, menjadi jelas bagi saya 
bahwa yang tidak adil adalah bapak dan ibu saya. lalu hukumannya apa? 
diprotes anak. hukuman yang lebih besar? 'diwaneni' anak. yang lebih 
besar lagi? tidak dihormati oleh anaknya. 

sambil mengunyah makanan, tidak jarang kami main-main. adik saya, 
yang kakinya selalu goyang di bawah meja menendang kaki saya. karena 
saya pikir itu suatu kesengajaan, tanpa ba bu tangannya saya pukul. 
dia balas. ibu melihat. kami dimarahi. 'mau makan atau berantem?',
katanya. adik saya bilang, 'dia mukul saya duluan'. saya membela, 'dia
menendang saya duluan'. 'mau brenti, nggak?' kalau sudah begini, hanya
alasan yang cukup sahih lah yang akan mengijinkanku memukul kembali
adik yang nakal itu. sesudah dewasa, peristiwa itu juga saya
refleksikan sebagai bentuk keadilan yang lain. mata ganti mata, gigi
ganti gigi. siapa menanam, dia memanen. 'you get what you pay'.
barangkali, alur pikiran keadilan semacam ini yang melahirkan rantai
kekerasan. inilah adil menurut prinsip ekonomi: menabur angin, menuai 
badai; siapa ketangkep jahat, dimasukkan penjara.

pelajaran keadilan selanjutnya yang saya dapet adalah ketika saya
punya adik kecil lagi. konsumsi hati ayamnya membuat saya iri, karena
saya penggemar berat ati ayam. tapi ortu saya tidak mampu melogistiki
kami berenam dengan ati ayam secara teratur. prioritas musti dibuat.
yang paling muda lah yang mendapat menu paling baik, termasuk ati ayam
itu. maka keadilan yang kupahami berkembang. yang dinamakan adil jika
orang mendapatkan bagian menurut kebutuhannya. inilah barangkali yang 
disebut 'adil' menurut matra kesejahteraan. tidak begitu jelas, apa 
akibatnya kalau seseorang melanggar keadilan macam ini. paling-paling 
'diglendhengi', 'dicatur' atau paling pol dibunyi-bunyiken. 

ketika pak amin rais baru pulang dari amerika, dia menyentakkan saya
dengan tengarai ketidakadilan yang dilihatnya. menurutnya, proporsi
golongan tertentu dalam pemerintahan tidak imbang alias terlalu banyak
dibandingkan dengan proporsi golongan tersebut dalam masyarakat
(tengarai ini diulang dalam wawancara matra, februari atau maret 1998,
saya lupa). maka keadilan diukurlah dengan proporsi. tidak jelas 
benar, siapa yang musti menentukan kriteria untuk menetapkan proporsi 
ini. karena ketidakadilan semacam ini sering bermatra politis, maka 
praktek ketidak adilan semacam ini sering lebih merupakan issue 
[sosial politik] daripada suatu pelanggaran yang perlu mendapatkan 
sangsi.

kalau diringkas, keadilan yang saya pahami ada beberapa macam: sama
rasa sama rata; 'you get what you pay'; 'kesejahteraan'; dan
proporsional. masing-masing membawa serta kritiknya sendiri-sendiri.
'sama rata sama rata' mengabaikan potensi/kemampuan produksi yang pada
hakekatnya tidak bisa dikalibrasi 'sama rata'. dalam 'you get what you
pay', orang yang tidak bisa 'pay' tidak akan mendapatkan apa-apa. dan
jelas, selalu ada orang yang tidak bisa 'pay' for whatever reason.
keadilan dengan pendekatan 'kesejahteraan' mudah mengundang reaksi,
'enaknya. yang susah-susah aja dapetnya cuman segini kok yang gitu
aja, nggak berbuat apa-apa, juga dapet [perlakuan yang sama dengan
yang banting tulang]. ' keadilan proporsional [bisa] dikritik sebagai
mengabaikan keragaman potensi individu, maksudnya ada yang berpotensi
sekali, berpotensi cukup, kurang berpotensi dan tidak berpotensi. dan
tentu saja kritik maupun 'support' untuk masing-masing matra keadilan
bisa dibuat menjadi daftar yang panjang, lebih panjang dari tulisan
ini.

melihat beranekanya matra keadilan ini, setiap orang bisa mengadopsi
seturut situasi dan tujuannya. yang bersuasana hati jengkel, misalnya,
lebih sreg dengan keadilan 'you get what you pay' alias 'gigi ganti
gigi mata ganti mata'. kalau seseorang merasa besar tapi tidak merasa
cukup dengan apa yang didapatnya, perasaan ketidakcukupannya ini bisa
dilontarkan ke publik dengan argumen keadilan proporsional. karena ada
matra 'keadilan'nya, publik yang tengah gandrung keadilan, tapi kurang
awas dengan 'scrutiny' pasti akan begitu saja mengamini keadilan
semacam ini sebagai satu-satunya matra keadilan. dan seterusnya.

model keadilan yang saya bahas di atas, bagi saya, berbagi (share)
'common property': pendapatan, apa yang didapat oleh seseorang. adakah
matra 'keadilan' yang lain kecuali yang bermatra 'pendapatan'?

saya tidak tahu apakah cerita yang saya kutip [dan sesuaikan] dari de
mello ini (saya lupa judul bukunya) bermatra keadilan atau tidak.

di suatu desa, ada dua laki-laki bersaudara. yang seorang menikah dan
punya anak yang lainnya tidak. masing-masing hidup dari separo warisan
pertanian orang tuanya.

setiap kali hendak tidur, yang tua, berpikir, 'aku ini hanya 
menghidupi diri sendiri tapi mendapatkan separo warisan. adikku yang
menikah dan punya anak juga hidup dari separoh warisan orang tuanya.
ini tidak adil. pasti keperluannya jauh lebih banyak daripada
keperluanku.' karena pikiran itu, malam-malam dia memboyong padinya ke
lumbung adiknya.

adiknya yang menikah, setiap kali hendak tidur juga memikirkan 
kakaknya, 'kakakku itu hanya hidup seorang diri. kalau dia tua dan
tidak bisa lagi bekerja, dia pasti memerlukan jaminan masa tua. dia
perlu cadangan untuk masa tuanya. tidak seperti aku, yang kelak pasti
tidak akan dilupakan oleh anak-anakku yang sangat kucintai dan
mencintai orang tuanya itu. tidaklah adil kalau aku mengukuhi separoh
dari warisan orang tuaku.' dengan pikiran semacam itu, malam-malam dia
memboyong padinya ke lumbung kakaknya. 

begitulah kejadian boyong-memboyong itu menjadi semacam acara rutin,
sampai pada suatu malam mereka bertemu di tengah jalan. masing-masing
membawa padi untuk dimasukkan ke lumbung yang lain.

bertahun-tahun kemudian, orang di kampung itu menderikan monumen
keadilan untuk memperingati sikap berkeadilan kakak-beradik itu.

mungkin cerita di atas, oleh beberapa netters dianggap sebagai das
sollen keadilan, idealnya saja, angan-angan, utopi, yang sangat jauh
jaraknya dari das seinnya, dan karenanya 'impossible' terjadi dalam
kehidupan nyata bermasyarakat. kalau politik adalah seni membuat yang
tidak mungkin menjadi mungkin dan yang mungkin menjadi kenyataan (mbah
mangun dalam suatu tulisan di kompas beberapa saat yang lalu), dan
politik adalah bagian dari kehidupan, bukankah lalu kehidupan
memberikan lebih banyak kemungkinan untuk mengubah yang tidak mungkin
menjadi mungkin dan yang mungkin menjadi kenyataan? lalu kalau
keadilan adalah [salah satu] usaha yang dilakukan dalam kehidupan,
bukankah selalu terbuka untuk mewujudkan keadilan yang bermatra
'pelepasan' [or whatever you may call it] semacam ini? kuncinya:
maukah kita mendidik diri sendiri? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar