1. 1. Fungsi Agama
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Menurut lembaga social, agama merupakan bentuk perilaku manusia yang terlembaga.
Dalam masyarakat ada tiga aspek penting yaitu : Kebudayaan, system social dan kepribadian. Teori fungsional dalam melihat kebudayaan adalah wujud suatu kompleks dari ide – ide, gagasan, nilai – nilai, norma – norma dan peraturan. Fungsi kepribadian dalam ini merupakan suatu dorongan kebutuhan yang kompleks dan kecendrungan bertindak. Aksioma teori fungsional agama adalah segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Masyarakat industri bercirikan dinamika dan semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan.
Perkembangan iptek mempunyai konsekuensi penting bagi agama.Sekulerisai cenderung mempersempit ruang gerak kepercayaan dan pengalaman keagamaan. Kebanyakan agama yang menerima nilai- nilai institusional baru adalah agama – agama aliran semua aspek kehidupan.
Dimensi komitmen agama menurut Roland Robertson:
a. dimensi keyakinan mengandung perkiraan/harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu.
b. Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata.
c. Dimensi pengerahuan, dikaitkan dengan perkiraan.
d. Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, semua agama mempunyai perkiraan tertentu.
e. Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan.
2. Pelembagaan Agama
Tipe kaitan agama dengan masyarakat :
Agama bersifat universal, permanent, dan mengatur dalam kehidupan.
a. masyarakat dan nilai-nilai sacral
b. masyarakat-masyarakat praindustri yang sedang berkembang
c. masyarakat-masyarakat industri sekuler
Pelembagaan agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi struktur agama. Dimensi ini mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh kepercayaan di dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh Konflik Agama
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi mengungkapkan, hanya 30 persen konflik berbau agama yang murni karena persoalan agama. Selebihnya merupakan konflik non agama yang direkayasa sedemikian rupa sehingga seolah-olah murni karena masalah agama.
“70 Persen sisanya adalah konflik non agama yang ‘diagamakan’,” ungkap Hasyim dalam Diskusi Panel bertajuk “Memperkokoh Kerukunan Umat Beragama di NKRI” yang diselenggarakan dalam rangka peringatan 146 tahun HKBP di Hotel Borobudur, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Selasa (23/10).
Presiden World Conference on Religions for Peace (WCRP) itu menambahkan, agama dan pemeluknya, seharusnya menjadi potensi, bukan justru menjadi masalah bangsa. “Kerukunan tumbuh dari persepsi beragama masing-masing pemeluknya. Bukan kerukunan yang basa-basi, atau kerukunan taktis,” cetus Hasyim.
Keyakinan tanpa toleransi, ujarnya, hanya akan berbuah sikap fundamental. Sebaliknya, toleransi tanpa keyakinan hanya akan menimbulkan kebingungan untuk menjelaskan identitas keagamaan seseorang.
“Itulah perlunya membangun sikap moderat dalam diri para pemeluk agama. Moderat berarti menjaga keseimbangan antara keyakinan dan toleransi,” kata Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars itu.
Sementara Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pdt Bonar Napitupulu menyebutkan, konflik yang disebabkan sentimen agama yang pernah terjadi di Indonesia bukan disebabkan oleh faktor doktrinal agama.
“Karena doktrin setiap agama, termasuk Kristen dan Islam mengajarkan penganutnya untuk mengasihi sesama manusia dan menciptakan perdamaian,” ujarnya.
Merujuk pada kajian terhadap kasus konflik bernuansa agama, Bonar mengungkapkan ada dua faktor yang menghambat kerukunan umat beragama di Indonesia.
“Pertama, kelompok agama-agama cenderung membangun eklusifisme yang hanya mengakui masing-masing dan menafikkan kelompok lain. Kelompok agama tertentu mengklaim sepihak atas kebenaran hidup beragama dan menyalahkan penganut agama yang berbeda,” papar Bonar.
Faktor yang kedua, imbuh Bonar, pada tataran struktural, keputusan politik sering menjadi batu sandungan untuk mewujudkan kerukunan hidup beragama.
“Misalnya prosedur mendirikan rumah ibadah yang tertuang dalam Peratuaran Bersama Menag dan Mendagri nomor 8 dan nomor 9 tahun 2006. Ini merupakan contoh kebijakan buruk yang justru membuka sentimen keagamaan bahkan terkesan diskriminatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar